Pertanian tradisional Asia Tenggara bisa menjadi solusi global


Nationalgeographic.co.id—
Sebuah teknik pertanian padi tradisional Asia Tenggara untuk memelihara ikan dan hewan ternak air lainnya di sawah berpotensi untuk menjadi solusi global.

Sebuah studi baru yang dikerjakan para peneliti dari Tiongkok dan Inggris menyebut bahwa teknik pertaninan tradisional itu berpotensi untuk memenuhi permintaan pangan global.

Temuan studi baru itu juga menyebut teknik pertanian tradional yang juga biasa diterapkan di beberapa daerah di Indonesia ini bisa meningkatkan kesehatan manusia dan lingkungan, serta menghasilkan tambahan 150 miliar dolar AS atau sekitar Rp2.209 triliun per tahun bagi produsen di seluruh dunia.

Selama ini beras (hasil tanaman padi) adalah makanan pokok yang menopang sekitar setengah dari populasi dunia, dan hampir semuanya ditanam sebagai monokultur, atau spesies tanaman tunggal.

Di sisi lain, sistem menanam padi dan memelihara hewan air, seperti ikan, udang, dan itik, semuanya telah ada selama lebih dari 1.000 tahun.

Sayangnya, praktik tersebut kini jarang dilakukan, dengan hanya 1% dari produksi beras global yang berasal dari pertanian ko-kultur.

Studi sebelumnya telah menemukan bahwa menggabungkan pertanian padi dengan akuakultur meningkatkan efisiensi penggunaan lahan.

Teknik pertanian ini juga mengurangi kebutuhan pupuk komersial, karena kotoran hewan yang kaya nutrisi, sekaligus mengurangi pestisida, karena spesies air memakan banyak serangga dan gulma bermasalah.

Sistem ko-kultur padi-hewan menyediakan strategi inovatif untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat saat ini, termasuk krisis pangan, perubahan iklim, pencemaran lingkungan, dan kekurangan sumber daya,” kata Baojing Gu, ahli ekologi di Zhejiang University yang menjadi salah satu peneliti dalam studi ini.

Makalah hasil penelitian ini telah diterbitkan pada 30 Januari 2023 di jurnal Earth’s Future AGU. Earth’s Future adalah jurnal yang berfokus pada penelitian interdisipliner tentang masa lalu, sekarang, dan masa depan planet kita dan penghuninya.

Studi baru ini menilai kinerja sistem budidaya padi-hewan di seluruh dunia dengan melihat temuan penelitian gabungan dari 155 studi kasus yang berbeda.

Para peneliti menemukan budidaya padi-hewan meningkatkan hasil padi tahunan sebesar 4% sekaligus mengurangi limpasan nitrogen sebesar 16% dan pelarutan bahan kimia 13% dalam kaitannya dengan monokultur padi.

“[Sistem] ko-kultur menghasilkan jenis makanan dan sumber nutrisi yang lebih beragam, berkontribusi pada ketahanan pangan,” kata Jinglan Cui, ahli ekologi di Zhejiang University yang juga penulis studi tersebut.

Studi ini juga menemukan bahwa peternakan padi menurunkan emisi metana sebesar 11% dalam kaitannya dengan monokultur padi.

Sistem budidaya padi-bebek dan udang karang secara keseluruhan diperkirakan dapat mengurangi emisi metana sekitar 40%. Adapun sistem budidaya padi-ikan diperkirakan meningkatkan emisi metana sebesar 29%.

Menurut para peneliti, perbedaan emisi metana antara sistem ko-kultur dapat dikaitkan dengan kadar oksigen yang ada di setiap sistem, dengan emisi metana meningkat sebagai respons terhadap kadar oksigen yang rendah.

Ikan yang berenang di sekitar sawah mengkonsumsi oksigen dalam sistem, menghasilkan emisi metana yang lebih tinggi. Bebek dan udang karang memasukkan oksigen ke dalam sistem dengan menggali dan mengotori tanah di sawah, menurunkan emisi metana.

Setiap sistem unik dalam manfaat ekologis dan ekonomi yang mereka berikan. Menurut para penulis studi, hewan yang harus dipilih untuk sistem ko-kultur tertentu bergantung pada seberapa baik mereka dapat bertahan hidup, tumbuh, dan bereproduksi di lingkungan tertentu.

Menurut penelitian, 87% dari pertanian monokultur padi yang ada, atau total 143 juta hektare di seluruh dunia, diperkirakan cocok untuk pertanian padi-hewan berdasarkan iklimnya.

Jika semua lahan yang cocok digunakan untuk pertanian padi-hewan ko-kultur, pertanian tersebut akan menghasilkan lebih dari 140 juta ton protein hewani per tahun, menurut penelitian itu.

Angka ini melampaui produksi akuakultur global saat ini yang hanya di atas 100 juta ton per tahun.

Pengadopsian global dari sistem ko-kultur padi-hewan diperkirakan memberikan pendapatan tambahan 152 miliar hingga 171 miliar dolar AS (Rp2.238 triliun sampai Rp2.518 triliun) bagi produsen setiap tahunnya, menurut penelitian tersebut.

Namun, keuntungan yang diharapkan akan bervariasi di setiap negara dan bergantung pada jumlah lahan yang cocok untuk budidaya padi-hewan.

Negara-negara yang diproyeksikan paling diuntungkan dari pendekatan pertanian ini adalah di Asia, tempat dengan lahan cocok lebih banyak.

Produsen di Tiongkok dan India diperkirakan memperoleh tambahan 34,8 miliar hingga 52,8 miliar dolar AS lebih per tahun.

Adapun produsen di Indonesia, Bangladesh, dan Thailand dapat memperoleh tambahan 10,4 miliar hingga 18,9 miliar dolar AS per tahun dengan beralih ke budidaya padi-hewan.

Negara-negara di wilayah lain dunia yang memiliki iklim untuk mempertahankan pertanian padi-hewan, tetapi saat ini memiliki sangat sedikit peternakan hewan-padi yang didirikan, juga mendapat manfaat dari penerapan praktik ini, menurut penelitian tersebut.

Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Brasil dapat memperoleh tambahan 1,4 miliar hingga 2,4 miliar dolar AS per tahun dengan memperkenalkan sistem budidaya padi-hewan.

Terlepas dari potensi keuntungannya, adopsi ko-kultur padi-hewan lambat untuk mendapatkan daya tarik pada skala global karena memerlukan teknologi khusus ko-kultur.

Sistem ini juga membutuhkan sumber daya seperti modal, tenaga kerja, infrastruktur dan jaringan pasar. Hal ini menantang kebijakan nasional yang mempromosikan monokultur padi, menurut penulis Jane Cui.

“Paradigma kebijakan pertanian yang mendukung monokultur padi intensif dapat menjadi penghalang untuk adopsi ko-kultur padi-hewan di banyak negara,” kata Cui, seperti dikutip dari keterangan American Geophysical Union.

Sumber: grid

Related posts

ID Food Mendorong Peningkatan Akses Perempuan di Sektor Pertanian dan Pangan

Pinjaman Ultra Mikro BRI Bikin Petani Ini Raup Omzet Rp 36 Juta

Ratusan Ha sawah di Situbondo siap panen musim tanam dua