Home » Alat Majapahit, gunakan luku untuk menggemburkan tanah

Alat Majapahit, gunakan luku untuk menggemburkan tanah

by Aliriza Siwi
47 views 2 minutes read


DALAM 
sejarah, Majapahit dikenal sebagai kerajaan agraris terbesar di masanya. Persawahan menjadi tulang punggung perekonomian berbasis pertanian yang diusung Wilwatikta saat itu. Meski tak seperti era modern saat ini, sektor pertanian kala itu didukung alat yang memanfaatkan teknologi sederhana. Tujuannya, untuk memaksimalkan hasil panen yang diperoleh.

Alat pertanian yang digunakan masyarakat Majapahit tak jauh berbeda dengan alat pertanian tradisional saat ini. Untuk mengolah tanah, petani menggunakan luku, cangkul, maupun garu. Memanen padi dengan cara ani-ani dan mengolahnya dengan tampah, lesung, lumpang, maupun alu. ”Pada masa Majapahit, masyarakat memang sudah mengenal logam besi. Salah satunya untuk membuat alat-alat pertanian itu,” ujar pemerhati tinggalan budaya Majapahit Anam Anis.

Untuk menggarap areal persawahan sedemikian luasnya, para petani di abad 13-16 masehi itu memanfaatkan bajak atau luku. Alat pertanian ini terbuat dari kayu kombinasi besi. Hanya singkal atau pisau bajak yang berfungsi untuk memecah dan membalikkan tanah terbuat dari besi. Sebagaimana proses metalurgi yang meleburkan logam dengan suhu lebih dari 1000 derajat celcius, para pandai besi mencetak singkal sedemikian rupa. Dirangkai dengan komponen kayu, alat seperti huruf T terbaring ini digandengkan dengan sumber tenaga penarik dari sapi atau kerbau.

”Budaya bertani saat itu sudah terlihat jelas. Dan sektor pertanian di era Majapahit sudah kuat,” ujar pria yang juga ketua Gotrah Wilwatikta ini. Lebih lanjut, disebutkan dalam sejumlah prasasti, kala itu sudah ada beberapa sistem pengolahan sawah mulai dari penyiapan lahan, penanaman hingga panen. Ada beberapa istilah sistem pengolahan lahan yang masih bertahan sampai saat ini antara lain amaluku, atanam, amatuin, ahani, dan anutu.

Pada masa itu, pertanian pun sudah terbagi menjadi dua jenis yakni pertanian basah dan kering. Pertanian basah dilakukan di sawah dan pertanian kering seperti di ladang (gaga), kebun (kbuan), dan tanah tegalan (tgal). Dalam setahun, para petani kala itu mampu memanen padi sebanyak dua kali. Suburnya alam ditambah sentuhan para petani, membuat padi bumi Majapahit memiliki kualitas unggul. Hasil pertanian unggulan pun jadi komoditas dagang andalan Majapahit di kancah perdagangan internasional.

”Hasil pertanian seperti padi, palawija, dan rempah ini jadi komoditas dagang utama Majapahit. Baik untuk diperdagangkan ke seluruh wilayah Nusantara maupun ke negara atau kerajaan lain,” tandas Anam

Sumber: jawapos

You may also like