Transformasi Sistem Pertanian Bantu Capai Ketahanan Pangan

Pertanian, sebagai sumber pangan utama, memiliki kontribusi besar terhadap pemanasan global. Tapi di saat bersamaan, pertanian juga sangat rentan terdampak bencana iklim, karenanya perlu adanya transformasi sistem pangan Indonesia ke arah yang lebih berkelanjutan untuk memastikan terjaganya ketahanan pangan nasional.

“Pertanian berkontribusi pada krisis iklim. Sebaliknya, pertanian juga sangat terdampak dari krisis iklim, karena meningkatnya cuaca ekstrim, kemarau berkepanjangan, dan degradasi lahan juga mempengaruhi produksi. Oleh karena itu, perlu ada transformasi sistem pangan untuk memastikan ketahanan pangan di tengah ancaman krisis iklim,” demikian ucap Board Member Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Dr. Risti Permani.

Dr. Risti melanjutkan, ada empat faktor yang mendukung transformasi tersebut, seperti konsumsi yang bertanggung jawab, inovasi, gerakan menurunkan emisi karbon dan kebijakan yang mendukung.

Tantangan atas keterjangkauan masyarakat kepada pangan semakin bertambah, seperti semakin terasanya dampak perubahan iklim pada proses bertani dan konflik internasional pada ketersediaan pupuk dan komoditas pangan. 

Isu keterjangkauan masih sering luput dari perhatian saat kita membicarakan soal pangan. Diskusi masih didominasi soal produksi. Tapi di sisi lain, masyarakat masih menghadapi fluktuasi harga pangan fluktuatif dan hal ini sangat berdampak bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

Tingginya harga pangan Indonesia sangat merugikan masyarakat, lanjut Risti, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Mereka bisa menghabiskan 50% hingga 70% dari pengeluarannya hanya untuk membeli makanan. Besarnya proporsi pengeluaran untuk makanan membuat masyarakat sangat rentan terhadap lonjakan harga komoditas pangan sehingga mempengaruhi pola konsumsi.

Di sisi lain, naiknya minat konsumen terhadap produk pangan ramah lingkungan dapat memberikan peluang bagi industri pengolah dan pemasaran untuk bertransformasi. Dr. Risti menjelaskan, salah satu studi internasional menyimpulkan, konsumen mau membayar hingga 30% harga premium untuk produk dengan atribut ramah lingkungan seperti sertifikat organik. 

Penelitian yang dilakukan University of Queensland terhadap konsumen di Sumatera Utara menemukan lima atribut yang dianggap paling penting oleh konsumen yaitu terbebas dari pestisida dan pupuk dari bahan kimia, menggunakan kemasan ramah lingkungan, diproduksi dengan limbah yang minimal dan sertifikat organik. 

Perdagangan pangan internasional juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ketahanan pangan. Kebijakan pangan proteksionis dapat berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca akibat aktivitas pertanian yang tidak efisien. Untuk menekan emisi dan memastikan stabilitas ketahanan pangan pemerintah juga perlu mendorong diversifikasi sumber pangan dan sistem pertanian. 

Diperkirakan, penghapusan hambatan non-tarif atau non-tariff measures (NTM) pada komoditas pangan dan pertanian akan membantu menekan harga pangan di Indonesia, sehingga pengeluaran masyarakat untuk makanan juga akan berkurang. Hal ini akan membantu keluarga untuk keluar dari kemiskinan. 

Penelitian CIPS menemukan, penghapusan NTM pada beras akan memberikan dampak yang cukup besar, yaitu 2,52%. Sementara itu penghapusan NTM pada daging berkontribusi mengurangi kemiskinan sekitar 0,21%. 

Penelitian CIPS juga merekomendasikan dua hal yang bisa membantu meminimalisir dampak dari NTM. Pertama, Kementerian Perdagangan sebaiknya meninjau kembali NTM yang ada dengan mengidentifikasi keuntungan atau kerugian tiap NTM serta menghapus hambatan yang memiliki biaya tinggi. 

Bersama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan juga sebaiknya mempertimbangkan penguatan infrastruktur serta sistem untuk menekan biaya kepatuhan. 

Sumber : Dakta

Related posts

ID Food Mendorong Peningkatan Akses Perempuan di Sektor Pertanian dan Pangan

Kemendag dorong produk pertanian Indonesia masuk pasar Australia

Pinjaman Ultra Mikro BRI Bikin Petani Ini Raup Omzet Rp 36 Juta