Home » Hanya 6 Dari 100 Gen Z Tertarik Pertanian, Pangan RI Terancam

Hanya 6 Dari 100 Gen Z Tertarik Pertanian, Pangan RI Terancam

by Jhon Sabri
50 views 7 minutes read

Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia adalah negeri agraris yang kaya akan sumberdaya pertanian yang seharunsya terhindar dari yang namanya kerawanan pangan. Namun hal ini tentu didukung dengan sumber daya manusia yang terampil di bidang pertanian. Lantas bagaimana kondisi SDM bidang pertanian Indonesia saat ini?

Berbicara kerawanan pangan, tentu saja ini adalah suatu hal yang harus diantisipasi bagi bangsa ini. Sebab, memalukan jika julukannya adalah “negara agraris” tapi mengalami krisis pangan adalah suatu keanehan luar biasa. Namun memang, beberapa faktor jadi penyebab Indonesia harus dihantui krisis pangan.

Sejak World Food Summite pertama pada tahun 1996 di Roma para petani telah menyampaikan bahwa hanya dengan diwujudkannya kedaulatan pangan lah dunia mampu untuk menghapuskan kelaparan sekaligus menghapuskan kemiskinan di pedesaan.

kedaulatan pangan lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan oleh komunitas secara mandiri, berdaulat dan berkelanjutan.

Kedaulatan pangan adalah hak setiap orang, kelompok-kelompok masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan pertanian, ketenagakerjaan, perikanan, pangan dan tanah, yang berwawasan ekologis, sosial, ekonomi dan budaya yang sesuai dengan kondisi khas dan kedaerahan mereka.

Pangan merupakan kebutuhan pokok sekaligus menjadi esensi kehidupan manusia, karenanya hak atas pangan menjadi bagian sangat penting dari hak azasi manusia. Permintaan akan pangan yang merupakan kebutuhan dasar manusia akan terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup.

Terbaru, Indonesia ternyata mengulik rahasia di balik kesuksesan India dalam mengembangkan pertaniannya, terutama soal beras. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang baru saja pulang dari India. Mengejutkannya, rahasia ini ternyata pakai strategi yang ‘tak asing’ di telinga.

Ternyata, pertanian di India itu menggunakan koperasi bukan konglomerasi. Dari sisi pupuk India memutuskan tidak pakai pupuk pabrik dan itu dibuat oleh koperasi-koperasi didukung dengan penelitian.

Kebijakan yang diterapkan India ini tentu saja untuk mengamankan stok serta menghindari penipisan stok pangan di dalam negeri, apalagi untuk ukuran India dengan jumlah penduduk yang mencapai miliaran orang. Zulhas pun mengingat kebijakan itu seperti metode Indonesia dalam masa orde baru atau zaman Soeharto.

Maka dari itu, Keberlanjutan pertanian dalam menyediakan pangan sangat tergantung pada SDM pertanian. Namun mayoritas pendidikan SDM pertanian Indonesia masih rendah, banyak petani yang berusia lanjut dan rendahnya kapasitas dalam aspek kewirausahaan.

Pada tahun 2023 ini Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan kementeriannya memiliki empat program kerja untuk meningkatkan produktivitas pertanian serta transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Keempat program tersebut meliputi program ketersediaan, akses dan konsumsi pangan berkualitas, program nilai tambah dan daya saing industri, program pendidikan dan pelatihan vokasi, serta program dukungan manajemen. Ini berkaitan dengan pengembangan SDM di bidang pertanian.

Dengan berpatokan dengan empat program tersebut, maka target produksi beberapa komoditasutama Kementerian Pertanian pada 2023 sebagai berikut.

Berkurangnya Jumlah Petani Jadi ‘Momok’ Mengerikan Bagi RI

Berkurangnya jumlah petani ditambah petani yang mulai menua menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Akibatnya,produktivitas pun stagnan,dan akan mempengaruhi jumlah panen.

Selain turunnya jumlah petani dan lahan, kualitas benih pangan juga menjadi kendala, karenakurang adaptif pada perubahan iklim. Kerusakan infrastruktur dan bencana alam juga menjadi perhatian, karena bisa menghambat pemenuhan pangan.

Tak kalah penting, bahwa perubahan iklim sangat mempengaruhi, ada hujan terus menerus, musim basah, ini mempengaruhi produktivitas pangan. Sampai saat ini kita masih berkutat mencari benih yang tahan, karena stabilitas pangan perlu diantisipasi dengan cepat.

Peran petani secara tidak langsung menjadi ujung tombak dalam menjaga ketersediaan pangan, apabila ketersediaan petani secara nasional kian menurun, maka hal tersebut akan berkorelasi positif dengan menurunnya ketahanan pangan nasional.

Menurunnya tenaga kerja petani berdampak terhadap produktivitas pertanian yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan pada upaya penjaminan hak atas pangan di Indonesia.

Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada sebanyak 38,7 juta penduduk yang bekerja di sektor pertanian.

Dari angka ini, ancaman penuaan pada pekerja di sektor pertanian bakal terjadi sebab regenerasi yang terbilang sulit di Tanah Air.

Bidang pertanian tak lagi menarik minat anak muda, khususnya dari generasi Z. Berdasarkan hasil survei Jakpat, hanya 6 dari 100 generasi Z berusia 15-26 tahun yang ingin bekerja di bidang pertanian. Ada sejumlah alasan mengapa banyak generasi Z yang tak ingin bekerja di bidang pertanian.

Nyatanya pertanian cukup pelik dilakukan karena membutuhkan modal yang besar dengan hasi usaha tani yang bisa dibilang ‘tebak-tebakan’. Jika hasil usahatani bagus maka bisa menutupi modal yang bersumber dari hutang di bank ataupun dari pinjaman keluarga.

Namun jika gagal atau setengah gagal maka hasil pendapatan akan habis menutupi sewa lahan (jiwa lahan bukan milik sendiri), biaya pupuk, biaya pestisida yang mahal hingga biaya lainnya.

Rendahnya minat pemuda bekerja di sektor ini pun membuat Indonesia harus puas berada di urutan keenam negara dengan proporsi tenaga kerja pertanian tertinggi di Asia Tenggara. Menurut ASEAN Statistics Division, proporsi tenaga kerja pertanian di Indonesia sebesar 29,8% pada 2020.

Posisi Indonesia berada di bawah Kamboja dengan proporsi tenaga kerja pertanian sebesar 32.1%. Sedangkan, Myanmar menjadi negara yang memiliki proporsi tenaga kerja pertanian paling tinggi di Asia Tenggara, yakni 48,9%.

Pada dasarnya ini soal pengembangan sumberdaya manusianya dan fasilitas yang memadai, baik dari segi modal usaha tani, pengembangan skill yang tentunya akan menarik gen Z tertarik menggeluti bidang pertanian apalagi industri sedang di landa PHK seperti saat sekarang ini.

Tentunya akan ada banyak generasi yang ingin menggeluti bidang ini namun memang perlu digali lebih lanjut terkait modal yang dimiliki.

Karena perkembangan teknolog sektor pertanian yang cepat perlu diimbangi dengan regenerasi SDM pertanian yang cepat pula. Inilah pentingnya memperkenalkan dunia pertanian kepada generasi muda sejak dini. Tidak hanya milenial, kini pertanian juga menjadi sesuatu yang dekat dengan generasi milenial.

Regenerasi petani ini kami nilai begitu penting untuk dilakukan melihat alasan dan dampak untuk ketahanan pangan. Regenerasi petani perlu dilakukan karena melihat dari usia petani yang semakin tua ini mengakibatkan penurunan kinerja dalam bidang pertanian.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah tenaga kerja pertanian pada Agustus 2015 sebanyak 37,75 juta orang dan pada Agustus 2019 sebanyak 35,45 juta orang atau berkurang 2,3 juta dalam 4 tahun.

Meskipun pada Agustus 2020 pekerja pertanian naik 2,77 juta dari tahun sebelumnya yakni menjadi sebanyak 38,22 juta orang, namun pekerja di sektor pertanian masih didominasi oleh mereka yang berusia di atas 45 tahun. Hal itu lebih disebabkan dampak pandemi, dimana banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan karena pandemi lalu mereka kembali ke kampungnya dan hidup bertani.

Pengembangan SDM di Sektor Pertanian Harus Terus Digenjot

Pengembangan sumberdaya manusia pada sektor pertanian saat ini merupakan konsekuensi dari semakin disadarinya ketertinggalan Indonesia dalam hal mutu sumberdaya manusia (SDM). Tuntutan pembinaan mutu SDM tersebut merupakan langkah antisipatif dalam menghadapi persaingan global, di mana dalam kondisi tersebut akan mendorong semakin tingginya mobilitas tenaga kerja sektor pertanian antar negara.

Hingga saat ini, pembangunan sumber daya manusia (SDM) bidang pertanian masih harus terus digenjot. Pasalnya, belum banyak generasi milenial yang memandang pekerjaan di bidang pertanian memiliki masa depan yang menjanjikan atau bahkan bisa berkontribusi besar terhadap negara.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mendorong generasi milenial untuk lebih mencintai dunia pertanian. Lebih dari itu, bersama-sama membangkitkan kembali sektor pangan di Tanah Air.

Apalagi, belakangan setelah pandemi Covid-19, sektor pertanian kian mengalami degradasi. Citra pekerjaan di bidang pertanian semakin terpuruk akibat krisis pangan yang dialami dunia tanpa terkecuali Indonesia.

Muhadjir mengklaim bahwa pemerintah telah melakukan intervensi terhadap kemajuan pertanian di Indonesia. Antara lain, membangun pusat-pusat pangan di beberapa provinsi serta menyediakan sarana prasarana dan infrastruktur pertanian.

Di samping itu, upaya untuk membangun kembali kepercayaan generasi muda pada masa depan pekerjaan di bidang pertanian juga masih terus dilakukan. Salah satunya melalui intervensi perguruan tinggi terutama yang memiliki program studi bidang pertanian.

Namun menjadi renungan bagi kita semua, bagaimana bisa mendorong milenial menjadi pekerja di sektor pertanian jika selama ini pertanian masih dicap ‘pekerja rendahan’ di Tanah Air. Mengapa demikian? Ada masalah kompleks yang dihadapi petani di lapangan, selain itu petani ini memiliki tingkat risiko yang besar pula.

Rendahnya kesejahteraan petani membuat anak muda enggan menjadi petani, bahkan profesi petani terstigma identik dengan profesi “orang miskin”, “terbelakang”.

Untuk buruh tani saja melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, rata-rata upah nominal tani Rp59.226 per hari pada Desember 2022. Angka itu naik 0,22% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm)sebesar Rp59.096 per hari.

Namun, upah riil buruh tani pada Desember 2022 menurun 0,73% dibanding November 2022, yakni dari Rp51.830 menjadi Rp51.453 per hari.

Sebagai catatan, upah nominal adalah rata-rata upah harian yang diterima buruh sebagai balas jasa pekerjaan.Sementara upah riil adalah daya beli dari pendapatan/upah yang diterima buruh/pekerja.

Adapun upah riil buruh tani adalah perbandingan antara upah nominal buruh tani dengan indeks konsumsi rumah tangga perdesaan, sedangkan upah riil buruh bangunan adalah perbandingan upah nominal buruh bangunan terhadap indeks harga konsumen perkotaan.

Kompeksnya masalah pertanian dan pangan di Indonesia ini patut menjadi perhatian serta PR pemerintah beserta stakeholder lainnya. Permasalahan tentu harus dicari akarnya sehingga segala program yang dibangun tidak salah sasaran.

Sumber : CNBC

You may also like