Digilas Tol & Bandara, Petani RI Makin Krisis Lahan

Jakarta, CNBC Indonesia – Berkurangnya lahan pertanian melalui konversi lahan menjadi tantangan besar bahkan ancaman pangan dalam negeri. Sebab itu, lahan pertanian semakin menyempit sehingga mempengaruhi produksi. Julukan negeri agraris yang kaya akan hasil usaha tani kini dipertaruhkan dengan maraknya konversi lahan. Mengapa demikian?

Untuk diketahui, konversi lahan merupakan suatuproses perubahan penggunaan lahan dari bentuk penggunaan tertentu menjadi penggunaan lain misalnya ke non pertanian. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia seperti permukiman, tempat usaha (perdagangan dan jasa) dan fasilitas umum menyebabkan proses konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun semakin meningkat.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat yang diikuti perubahan sosial kultural masyarakat petani menyebabkan proses alih fungsi lahan pertanian menjadi isu penting dalam perkembangan pertanian saat ini.

Maka dari itu, isu konversi ini tentu saja merupakan keadaan yang harus diwaspadai, karena konversi lahan pertanian berarti berkurangnya luas areal pertanian, yang berarti pula produksi pertanian akan menurun.

Lahan pertanian di dalam negeri ini punya banyak manfaat. Bukan Cuma ditanami padi, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut bahwa secara total penggunaan lahan pertanian yang ditanami selain padi mengalami peningkatan pada tahun 2022.

Berdasarkan data di atas, proporsi penggunaan lahan paling banyak adalah penanaman tanaman selain padi, yakni 24,12% dari total luas lahan pertanian Indonesia. Angka ini naik dari sebelumnya yang sebesar 21,49%. Selanjutnya adalah bera yang sebesar 15,02% pada 2022. Angka ini menurun dari sebelumnya yang sebesar 15,55% pada 2021.

Bera adalah sistem pengembalian kesuburan tanah dengan cara membiarkan tanah tanpa ditanami. Selengkapnya bisa dilihat pada grafik di atas.

Namun tantangan nyata di depan mata, alih fungsi lahan atau konversi lahan pertanian menjadi ‘momok’ mengerikan di Indonesia yang dikhawatirkan bakal mengancam produktivitas pertanian hingga ancaman ketahanan pangan dalam negeri yang bertahun tahun sudah diupayakan ‘mati-matian’.

Lihat saja, data BPS tahun 2021 berbicara alih fungsi lahan sawah nasional bervariasi antara 60.000-80.000 hektar hektar per tahun. Jika indeks panen padi yang beralih fungsi antara 2,5-3% dengan produktivitas rata-rata 6 ton Gabah Kering Giling/hektar, maka dalam lima tahun lahan sawah yang beralih fungsi antara 300.000-400.000 hektar dengan kehilangan hasil padi mencapai 1,8 juta ton-2.4 juta ton GKG. Pertanyaannya mengapa alih fungsi lahan semakin masif dan apa langkah mitigasinya?

Faktor dominan penyebab alih fungsi lahan sangat komplek dan dinamis, serta bervariasi antar ruang dan waktu. Berdasarkan Kementerian Pertanian (Kementan) setidaknya ada tiga faktor penyebab maraknya alih fungsi lahan.

Untuk mendapatkan nilai jual yang tinggi tentu lahan sawah harus dijual ke pengusaha untuk dibangun infrastruktur, perumahan atau pabrik. Cepat dan pasti, luas lahan sawah yang sangat produktif beralih fungsi menjadi bangunan yang masih dan tidak menyediakan tempat untuk menyerap air hujan.

Dampak lain yang ditimbulkan, wilayah yang dibangun pabrik dan pemukiman pada musim hujan sering kali terjadi banjir (flood) dan genangan (innondation), karena air hujan tidak diserap oleh tanah. Bangunan pabrik dan pemukiman sering kali mengabaikan keberadaan saluran irigasi, sehingga seringkali lahan sawah di sekitar bangunan pabrik dan permukiman saluran irigasinya terganggu dan pemenuhan kebutuhan air untuk tanaman tidak tercukupi.

Cepat dan pasti petani frustasi dan memilih mengalihfungsikan lahan sawahnya. Secara iterative dan konvergen, laju alih fungsi lahan sawah diakselerasi dari berbagai sudut.

Lahan Sawah Menjadi Incaran Konversi

Lahan sawah menjadi salah satu sasaran konversi bagi pengembang, karena lahan umumnya datar, aksesibilitas tinggi dan dekat dengan sumber air. Pembangunan infrastruktur seperti jalan, tol, bandara, perkantoran, fasilitas pendidikan, industri, selalu diikuti dengan urbanisasi dan pengembangan fasilias ikutannya seperti pom bensin, hotel, pertokoan, dan perumahan.

Lahan pertanian ‘tergilas’ tol dan bandara. Bukan hanya hilang karena desakan kebutuhan ekonomi, banyak lahan sawah hilang karena tergusur pembangunan infrastruktur dan proyek strategis nasional.

Contohnya, pengembangan bandara Lombok Praya International Airport di Lombok Tengah dan pembuatan jalan poros yang menghubungkan antara kota Mataram dengan bandara, mendorong konversi lahan sawah yang semakin cepat di sepanjang jalan poros tersebut untuk berbagai bangunan. Fenomena ini terjadi di seluruh provinsi dan kabupaten, terutama yang sebagian besar wilayahnya berupa sawah, seperti di Bekasi dan Karawang Jawa Barat.

Contoh lainnya, masih lekat di ingatan warga Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Majalengka, yang lahan pertaniannya beralih fungsi menjadi bandara. Hal yang sama terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Memang ada banyak proyek strategis nasional berurusan dengan kepentingan lahan petani. Seperti pembangunan PLTU Cilacap, Bendungan Bener di Purworejo dan Wonosobo, New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, jalan tol Yogyakarta-Bawen, jalan tol Yogyakarta-Cilacap, dan tol Yogyakarta-Solo.

Wewenang memutuskan alih fungsi lahan ada pada pemerintah daerah. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Apalagi, persoalan terbesar yang dihadapi para petani saat ini adalah masalah tingginya harga pupuk. Hal ini tak sebanding dengan harga jual gabah. Para tengkulak pun hanya mau membeli gabah yang harganya sudah distandarkan pemerintah.

Maka dari itu, potensi kehilangan lahan sawah dan lahan pertanian lainnya di masa depan bisa semakin meningkat mengingat saat ini sangat memungkinkan alih fungsi lahan pertanian pangan untuk kepentingan umum atau untuk proyek strategis nasional. Ini memang dilema.

Satu sisi menjadi negara yang maju tentu memerlukan proyek-proyek hebat seperti negara lain, namun pemerintah juga harus menyeimbangkan bagaimana lahan pertanian kita bisa terus produktif untuk mendukung ketahanan pangan dalam negeri yang selama ini digaungkan oleh pemerintah.

Pemerintah bersama DPR harus segera mengambil langkah nyata untuk menurunkan laju alih fungsi lahan sampai ambang batas yang dapat ditoleransikan. Caranya dengan melakukan revisi UU 41/2009 beserta aturan turunannya. Belum terlambat kalau Pemerintah dan DPR serius untuk merespon terjadinya krisis pangan di masa mendatang.

Kewajiban Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota membuat lahan pertanian pangan berkelanjutan harus dibatasi waktunya. Luas lahannya dan disertai sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera. Tanpa sanksi yang tegas, maka alih fungsi lahan akan menjadi ajang pesta para pemburu rente dalam menggerus lahan sawah dan menghancurkan kemampuan produksi pangan nasional.

Sumber : CNBC

Related posts

ID Food Mendorong Peningkatan Akses Perempuan di Sektor Pertanian dan Pangan

Pinjaman Ultra Mikro BRI Bikin Petani Ini Raup Omzet Rp 36 Juta

Ratusan Ha sawah di Situbondo siap panen musim tanam dua