Home » Melihat Masyarakat Pre-Agrikultur Kawasan Asia Tenggara dan Cina Selatan melalui Sudut Pandang Arkeologi

Melihat Masyarakat Pre-Agrikultur Kawasan Asia Tenggara dan Cina Selatan melalui Sudut Pandang Arkeologi

by Jova Nadya
37 views 4 minutes read

Jakarta – Humas BRIN. Masyarakat pemburu dan peramu tingkat lanjut atau populasi pra-agrikultur memegang peranan penting dalam sejarah penghunian di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Ragam budaya masyarakat pra-agrikultur kerap dijumpai sisa-sisanya pada situs bukit sampah kerang, gua dan ceruk, termasuk praktik penguburan mereka yang memiliki kekhasan tersendiri.

Siapakah mereka? Bagaimana relasi mereka dengan populasi manusia modern awal dari periode sebelumnya? Pertanyaan tersebut mendasari topik penyelenggaraan Archeometry Lecture Series #5 diselenggarakan BRIN, dimotori oleh Pusat Riset (PR) Arkeometri, Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan sastra (OR Arbastra), secara daring pada Kamis, (30/3). 

Dalam sambutan pembuka, Kepala OR Arbastra, Herry Jogaswara mengatakan, jika berbicara tentang public lecture (kuliah umum), hal tersebut adalah salah satu bentuk dari capacity bulding bagi para periset untuk meningkatkan kepakarannya. Ia juga menyampaikan kegiatan ini juga bermanfaat sebagai wadah berbagi dan bertukar ilmu pengetahuan dalam hal ini bidang arkeologi.

Kemudian, kegiatan ini juga bisa menjadi media kolaborasi riset yang akan memperkuat relasi berbagai pihak, dalam hal ini institusi BRIN dengan Sapporo Medical University, Jepang. “Saya berharap kegiatan ini dapat menginspirasi kita semua dalam melihat masyarakat pemburu, peramu, dan pengumpul yang masih eksis di daerah Sumatera sampai saat ini,” katanya.

Sebagai narasumber pada kesempatan kali ini, Profesor Sapporo Medical University, Hirofumi Matsumura menjelaskan mengenai Preagricultural foragers in Southeast Asia and South China: their bio-anthropological affinity and unique mortuary practice (masyarakat pengumpul masa pra-agrikultural di Asia Tenggara dan Cina Selatan: afinitas bio-antropologis dan praktik kamar mayat yang unik).

Dijabarkannya, terjadi pola migrasi manusia di zaman Holosen dari kawasan Cina Selatan menuju area dengan iklim yang lebih hangat di Asia Tenggara. Dalam melihat ciri afinitas bio-anthropological masyarakat pra-agrikultural tersebut dapat dipahami melalui sisa rangka. Ia menjelaskan 3 teori yang mendasari signifikansi analisis morfometrik tengkorak, yaitu Bergmann’s Rule (1847), Joel Allen’s Rule (1877), dan Gloger’s Rule.

Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa manusia beradaptasi dengan iklim dingin di daerah hangat di Asia termasuk kepulauan Jepang. Hal tersebut karena populasi yang menghuni dunia saat ini muncul lantaran didorong oleh penyebaran pertanian dan bahasa skala besar, yang secara morfologis berbeda dari penjelajah pra-agrikultural.

Para petani Neolitik yang tersebar di daratan Asia Tenggara mewakili penutur bahasa Austronesia. Karakteristik kerangka mereka 90% berasal dari nenek moyang jauh di Asia Timur Laut, yang secara morfologis beradaptasi dengan iklim yang sangat dingin. Mereka mendirikan koloni pertama mereka sendiri tanpa percampuran intensif dengan percampuran masyarakat pemburu-pengumpul lokal pribumi yang terjadi di kemudian hari.

Dalam melakukan penelitiannya, Hirofumi dengan tim telah menjelajahi berbagai lokasi berbeda. Terhitung selama 13 tahun terakhir ia telah melakukan ekskavasi di Huiyaotian, negara Cina, berlanjut ke 5 lokasi di Vietnam yaitu Hang Cho Cave, Con Co Nga, Bau Du, Man Bac, dan Hoa Diem, kemudian ke Gua Harimau di Sumatera, Indonesia.

Di situs ekskavasi Gua Harimau, ditemukan dua layer grup struktur populasi, tampak dalam satu situs tunggal. Di mana layer pertama adalah grup masyarakat pemburu-pengumpul, terdapat pemakaman terlipat, kerangka dengan fitur Australo-Papua. Sedangkan layer kedua adalah grup masyarakat agrikultural, terdapat penguburan yang diperpanjang, dan kerangka dengan ciri-ciri Asia Timur Laut.

Hirofumi telah melakukan uji hipotesis menggunakan analisis data tiga dimensi (3D). Hasilnya, masyarakat pemburu-pengumpul Paleolitik Mesolitikum memiliki ciri-ciri umum antara orang Asia Timur/Tenggara dan Eropa, yang berbagi ciri-ciri tropis Afrika dan Papua-Melanesia. “Jumlah data 3D tengkorak modern saat ini mencapai 420 tengkorak dari 152 kelompok etnis,” ucapnya.

Kemudian secara global digantikan (atau kawin silang) oleh migran masyarakat Neolitik agrikultural dari Levant dengan fitur kranial yang disesuaikan dengan iklim yang sangat kering di Eurasia Barat. “Dan oleh para migran Neolitik dengan tengkorak yang beradaptasi sangat dingin di Eurasia Timur (Asia),” imbuhnya.

Praktik Teknik Pemakaman yang Unik

Masyarakat pemburu-pengumpul masa Holosen awal yang biasa menetap di gua di daerah pegunungan biasanya melakukan praktik penguburan. Terdapat banyak teknik pemakaman/ penguburan unik yang telah ditemukan di berbagai situs ekskavasi. Di antaranya adalah yang ditemukan di daerah Hoabinhian dengan teknik blocked, body back side (dorsally), hip prone side (ventrally), serta bagian pinggul dan lutut diposisikan berdekatan yang mana semuanya adalah orientasi anatomis yang tidak mungkin. “Mayat-mayat itu tidak terpotong-potong secara kebetulan, tetapi dilakukan melalui proses penguburan yang agak artifisial,” tuturnya.

Beberapa analisis skenario mencoba menjelaskan alasan penerapan teknik unik penguburan mayat tersebut. Hirofumi memerinci berbagai petunjuk yang dapat berguna untuk memecahkan misteri penguburan ini. Di antaranya penguburan yang ditekuk dengan erat termasuk postur jongkok, tulang panjang yang dibundel, pemotongan, dan manipulasi tubuh post-mortem. Terkadang kerangka yang terbakar, lalu ditemukannya bubuk cinnabar atau bijih besi. “Dari berbagai skenario, teknik mumifikasi adalah skenario yang paling masuk akal,” katanya.

Hirofumi berasumsi tentang praktik penguburan tersebut. Menurutnya kemungkinan praktik tersebut juga dilakukan oleh para pemburu-pengumpul Holosen awal di kawasan ini. “Di bawah budaya material yang buruk dari penjelajah awal, kami menyadari kearifan dan semangat mereka untuk berhubungan dengan orang leluhur,” rincinya.

Terakhir ia menerangkan, hipotesis mumifikasi asap ini berpotensi membantu kita untuk lebih memahami bagaimana mereka menangani kematian berdasarkan catatan arkeologi. “Untuk publikasi hipotesis ini, kami membutuhkan lebih banyak bukti ilmiah untuk mendukung ide kami, jadi penelitian kami masih berlanjut,” terangnya.

Sebagai penutup kegiatan, Kepala PR Arkeometri, Sofwan Noerwidi mengatakan bahwa pihaknya masih bekerja sama untuk menyelesaikan analisis ini dengan berbagai misteri di dalamnya. khususnya mengenai teknik pemakaman unik masyarakat pemburu-pengumpul, yang sesungguhnya kita dapat melihat budaya tersebut yang masih diterapkan di berbagai daerah. Daerah itu seperti halnya pada salah satu masyarakat suku pedalaman Papua yang menerapkan teknik pengawetan mayat atau mumifikasi.

Sumber : BRIN

You may also like