Agroforestri Salak di Bali Ditetapkan sebagai Sistem Warisan Pertanian Penting Dunia


Jakarta – Sistem agroforestri yang membudidayakan salak di Bali, Indonesia, masuk daftar Sistem Warisan Pertanian Penting Dunia atau Globally Important Agricultural Heritage Systems (GIAHS). Daftar itu dibuat di bawah program unggulan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).

Daftar memuat situs-situs pilihan yang dinilai memiliki kepentingan global, menunjukkan keamanan pangan dan mata pencaharian, keanekaragaman hayati pertanian, sistem pengetahuan dan praktik berkelanjutan, nilai-nilai sosial dan warisan budaya, serta lanskap yang luar biasa. 

Banyak dari situs yang ditetapkan Sistem Warisan Pertanian Penting Dunia ini menampilkan praktik-praktik terbaik untuk meningkatkan ketahanan sistem pangan terhadap perubahan iklim dan untuk keanekaragaman hayati serta ekosistem yang berkelanjutan.

Sistem agroforestri yang membudidayakan salak di Bali, Indonesia, mengisi daftar terbaru bersama sistem budidaya kolam ikan karper di Austria dan Sistem Agroforestri Kakao di Sao Tome dan Principe–negara di Afrika Tengah. Ketiganya secara resmi ditetapkan dalam pertemuan Kelompok Penasehat Ilmiah GIAHS pada Kamis, 19 September 2024.

Bagi Indonesia dan Sao Tome-Principe, penetapan ini adalah yang pertama kalinya. Sedang untuk Austria, ini adalah yang kedua. Dengan tambahan terbaru ini dalam daftar sistem warisan pertanian global, jaringan warisan pertanian dunia FAO kini terdiri dari 89 sistem di 28 negara di seluruh dunia.

Sistem agroforestri di Karangasem — wilayah terkering di pulau Bali — mengintegrasikan budidaya buah salak dengan beragam tanaman. Sistem ini dikembangkan oleh masyarakat adat Bali menggunakan sistem subak tradisional dalam pengelolaan air.

Petani perempuan sedang mengumpulkan buah salak selama panen di perkebunan di Karangasem, Bali. Dok. FAO/Harriansyah

Pengembangan itu dinilai telah meningkatkan keanekaragaman hayati pertanian, mempertahankan topografi yang ada, membantu mencegah erosi, menghemat air, menyerap karbon, dan mendukung keamanan pangan, sekaligus menjaga warisan budaya dan mata pencaharian lokal. Sistem juga berkembang menjadi kawasan tangkapan air penting dan menyediakan pasokan air untuk hampir seribu hektare sawah dan keperluan lain bagi 10 desa di sepanjang Sungai Buhu.

Setiap bagian dari pohon salak dimanfaatkan, menjadikannya tanaman tanpa limbah. Praktik ini meningkatkan keberlanjutan dan efisiensi sumber daya. Adapun integrasikan budidaya salak dengan berbagai tanaman lain, termasuk mangga, pisang, dan tanaman obat, dianggap menciptakan lanskap pertanian yang kaya dan beragam.

Berakar pada filosofi tradisional Bali seperti “Tri Hita Karana” dan “Tri Mandala,” sistem ini mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan spiritualitas yang juga telah terdaftar sebagai Lanskap Budaya UNESCO.

Sumber

Related posts

Penerapan Industri 4.0 Pacu Kinerja Sektor Manufaktur

JFX dan FINEX Perkenalkan Industri PBK ke Generasi Muda

Punya Banyak Keanekaragaman Hayati, Ekspor Ikan Hias Indonesia Terhalang Masalah Klasik