Sejak tahun 2014 tepatnya tanggal 27 Oktober urusan kehutanan dan urusan lingkungan hidup digabung menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dipimpin oleh Menteri Siti Nurbaya politikus Partai Nasional Demokrat selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dua periode dibawah kepimpinan Menteri Siti Nurbaya, KLHK telah berhasil mengendalikan kebakaran hutan dan lahan, percepatan perhutanan sosial, perlindungan biodiversity, pembangunan infrastruktur hijau, upaya pemulihan lahan, pengendalian deforestasi, dan pengembangan ekonomi sirkuler. Dengan hasil kinerja tersebut, sudah selayaknya Menteri Siti Nurbaya mendapatkan apresiasi yang positif dari berbagai lapisan masyarakat.
Dengan dilantiknya Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka pada tanggal 20 Oktober 2024, menjadi titik awal pemerintah baru periode 2024 – 2029. Selanjut pada tanggal 21 Oktober 2024 dilakukan pelantikan kabinet pemerintahan baru diantaranya Menteri Kehutanan yaitu Raja Juli Antoni politikus dari Partai Solidaritas Indonesia. Kembalinya nomenklatur Kementerian Kehutanan dalam kabinet Merah Putih sebagai bukti komitmen pemerintah untuk mengurus hutan lebih fokus dan serius serta kembali ke khittah nya sebagai landasan berpikir dan beramal untuk menuntun umat manusia kepada kebaikan melalui tata kelola hutan yang lebih baik serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Landasan filosofis pengurusan hutan, hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang menganugerahkan kepada bangsa Indonesia berupa kekayaan alam yang tidak ternilai harganya wajib disyukuri dan harus diurus serta dimanfaatkan dalam rangka ibadah dengan penuh rasa syukur. Hutan sebagai penentu sistem penyangga kehidupan, telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya dalam rangka penyerasi dan penyeimbang lingkungan global dalam kaitan internasional maupun nasional. Kekayaan alam berupa hutan dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung gugat.
Oleh karena itu, hutan tidak lagi menjadi ajang bagi-bagi kekayaan untuk keuntungan segilintir orang, tetapi harus dimanfaatkan bagi kehidupan dan penghidupan seluruh bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya dan ekonomi secara seimbang dan dinamis, diurus dan dikelola secara berkelanjutan bagi kemakmuran masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Kebijakan Pengurusan Hutan
Pada awal dekade 1970 an, peran hutan secara ekonomi cukup besar dalam pembangunan nasional sebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state revenue) nomor dua setelah pendapatan dari minyak dan gas. Pendapatan tersebut berasal ekspor kayu hasil penebangan yang dilakukan oleh pengusaha yang diberikan konsesi-konsesi melalui izin hak pengelolaan hutan (HPH). Dengan kebijakan pemberian konsesi kepada pengusaha pemilik modal asing maupun dalam negeri dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dimulai eksploitasi hutan secara besar-besaran terutama di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Semula, secara ekonomi pemberian konsesi HPH memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetapi dalam implementasi kebijakan tersebut dilakukan dengan tidak transparan dan tidak selektif sehingga konsesi-konsesi tersebut dikuasai oleh pengusaha-pengusaha yang memiliki akses kuat pada elit penguasa pada saat itu. Selain itu karena lemahnya pengawasan dan kontrol, maka terjadi eksploitasi hutan yang tidak terkendali dan tidak tersentuh hukum. Konsekuensi dari kebijakan tersebut mengakibatkan terjadi deforestasi maupun degradasi hutan yang menurunkan kualitas maupun kuantitas hutan tropis pada berbagai kawasan hutan di Indonesia dan hilangnya sumber kehidupan masyarakat setempat. Dampak lebih jauh dari deforestasi dan degradasi hutan, menggusur kehidupan sosial budaya masyarakat lokal yang menjadi penyebab terjadinya konflik-konflik berkepanjangan atas pengelolaan dan pemanfaatan hutan antara masyarakat lokal dengan pemerintah maupun pemegang konsesi.
Menyadari adanya kerusakan hutan dan untuk mendorong berkembangnya industri pengolahan kayu di dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah secara ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor kayu bulat dimulai tahun 1980 secara bertahap dan berlaku secara penuh pada tahun 1985, tetapi pada tahun 1992 kebijakan ekspor kayu bulat dibuka kembali karena banyak protes dari pengusaha HPH dengan berbagai alasan. Pada tahun 2001 sampai sekarang larangan ekspor kayu bulat diberlakukan kembali oleh pemerintah, walaupun ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan larangan tersebut karena dianggap tidak efektif untuk mengurangi kerusakan hutan dan peningkatan industri pengolahan kayu di dalam negeri. Adanya kontroversi mengenai larangan ekspor kayu bulat tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sempat mengajukan usul untuk mencabut larangan tersebut kepada Kementerian Perdagangan dengan alasan adanya larangan ekspor kayu bulat terjadi penurunan harga kayu di dalam negeri yang menyebabkan pengusaha kayu banyak yang merugi, sedangkan harga kayu bulat di luar negeri sangat tinggi. Namun ditengah kusutnya kebijakan pemanfaatan hutan masih terdapat konsesi-konsesi HPH hutan tanam yang berhasil berkembang sampai saat ini, terutama yang terkait dengan industri pulp dan kertas.
Dengan terbukanya akses terhadap kawasan hutan yang diakibatkan dari eksploitas hutan menimbulkan perambahan-perambahan kawasan hutan untuk perkebunan sehingga terjadi kebakaran hutan di berbagai kawasan. Selama tahun 1982 sampai tahun 2019 terjadi kebakaran hutan yang paling parah di Indonesia, pada tahun 1982 terjadi kebakaran hutan pertama terbesar di Kalimantan Timur yang menghanguskan lahan seluas 3,2 juta hektar dan diantaranya 2,7 juta hektar merupakan hutan hujan tropis. Kerugian akibat kebakaran hutan tersebut diperkirakan mencapai USD 9 miliar dengan kabut asap yang mengganggu transportasi darat maupun udara sampai wilayah negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.
Setelah itu, terjadi kebakaran hutan pada tahun 1997 dan 1998, yang menghanguskan lahan maupun hutan sekitar 9,7 juta hektar di Indonesia dan tercatat sebagai kejadian kebakaran hutan yang terparah di dunia, dampak kabut asap dirasakan hingga negara tetangga di Asia Tenggara. Berbeda dengan kebakaran hutan pada tahun sebelumnya yang dipicu fenomena El Nino, pada tahun 2006 tidak terjadi fenomena El Nino, tetapi aktivitas pembakaran lahan dan hutan dalam rangka pembukaan lahan untuk perkebunan yang tidak terkendali menjadi pemicu kebakaran hutan. Kebakaran hutan pada tahun 2006 menghanguskan hutan dan lahan sekitar lebih dari 3 juta hektar, yang menyebabkan terjadinya polusi udara yang tinggi dan pelepasan gas rumah kaca yang dapat memicu perubahan iklim. Kebakaran hutan sepanjang tahun 2015 menghanguskan hutan dan lahan lebih dari 2,6 juta hektar, melanda 29 propinsi kecuali DKI Jakarta, DIY Yogyakarta dan Kepulauan Riau. Propinsi Kalimantan Tengah menjadi wilayah terparah kebakaran hutannya karena banyak lahan gambut yang kering menjadi pemicu terjadinya kebakaran hutan. Kebakaran hutan tersebut menyumbang 3% dari seluruh emisi gas rumah kaca dunia pada tahun itu dan kerugian ekonomi Indonesia ditaksir sekitar USD 16,1 miliar. Kemudian pada tahun 2019 terjadi kebakaran hutan dan lahan seluas 1,6 juta hektar sebanyak 42% dari total wilayah yang terbakar merupakan lahan gambut dan 70% dari areal gambut yang terbakar merupakan lahan gambut yang telah terdegradasi, kebakaran lahan gambut tersebut mengakibatkan 708 juta ton gas rumah kaca yang didominasi CO2 terpapar ke atmosfir.
Kilas balik kejadian-kejadian tersebut dimaksudkan untuk melakukan refleksi dari kebijakan-kebijakan pengurusan hutan masa lampau, guna memahami konsekuensi yang ditimbulkan terhadap kerusakan hutan. Degradasi dan deforestasi hutan karena eksploitasi hutan dengan penebangan kayu berasal dari hutan alam yang tidak terkendali, perambahan hutan dan kebakaran hutan yang sempat menimbulkan gangguan asap dan berbagai bencana merupakan pembelajaran untuk kebijakan yang akan datang. Untuk mencegah tidak terulangnya kembali kerusakan hutan dan meningkatkan upaya pelestariannya perlu adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan. Menyadari bahwa kawasan hutan yang sangat luas, hampir 60% dari luas daratan Indonesia, dalam pengelolaan hutan saat ini sangat perlukan transformasi digital secara luas, yang mencakup; penataan ulang organisasi, adopsi teknologi baru, perubahan budaya organisasi, kolaborasi yang efektif, mendorong kreativitas dan eksperimen.
Peran Hutan
Dengan kondisi hutan di Indonesia yang telah mengalami degradasi dan deforestasi saat ini, dilain sisi menyandang peran sangat penting baik secara nasional maupun global dalam mitigasi perubahan iklim, penopang perekonomian, pelestarian keanekaragaman hayati. Tindakan yang realitis adalah dengan melakukan optimalisasi pemanfaatan hutan dengan meningkatkan nilai ekonomi riil kawasan hutan. Berdasarkan estimasi nilai ekonomi riil lahan hutan saat ini hanya sekitar Rp. 400/m2/tahun, sedangkan lahan yang diusahakan sebagai perkebunan kelapa sawit nilai ekonominya sampai Rp. 3.800/m2/tahun (Nurrochmad, 2020). Oleh karena itu, apabila nilai ekonomi hutan dapat ditingkatkan menjadi sepuluh kali lipat atau lebih maka memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan pendapatan masyarakat Indonesia. Optimalisasi pemanfaatan hutan dalam rangka peningkatan nilai ekonomi lahan hutan dapat dicapai dengan melakukan perubahan paradigma pengelolaan hutan dari timber estate menjadi landscape base atau disebut multi-use forest management. Perubahan tersebut akan terjadi pergeseran dari berbasis izin menjadi menjadi berbasis usaha, tentunya memerlukan transformasi kultur usaha dan perubahan layanan birokrasi dalam bentuk perbaikan iklim usaha.
Berdasarkan hasil studi, total luas kawasan hutan yang tidak berhutan (forest loss) tahun 2019 sekitar 35 juta hektar dengan income per capita di Indonesia saat ini sekitar USD 4,050, apabila pengelolaan hutan dilakukan dengan ‘business as usual’ diperkirakan pada tahun 2040 forest loss menjadi 55 juta hektar, mendekati garis irreversible dengan forest loss sekitar 58 juta hektar dengan income per capita USD 8,000, sehingga apabila tidak tidak ada perbaikan pengelolaan hutan akan terjadi middle income trap. Namun apabila adjustment policy pengelolaan hutan berhasil meningkatkan nilai ekonomi riil kawasan hutan pada tahun 2045 Indonesia memiliki income per capita sekitar USD 15,000 dibawah target Indonesia Emas USD 29,000, tetapi sudah masuk negara berpenghasilan tinggi. Apabila perbaikan pengelolaan hutan berhasil, pada tahun 2057 terjadi net zero deforestation, Indonesia menjadi negara yang memiliki income per capita sebesar USD 40,000 dan pada saat itu akan terjadi ‘turning point’ deforestasi menurun sampai zero deforestation, pada tahun 2067 dan dimulainya reforestation (Nurrochmad, 2018). Hasil studi tersebut memperlihatkan adanya hubungan positif antara peningkatan income per capita dengan penurunan kerusakan hutan.
Peningkatan nilai ekonomi kawasan hutan dapat mengurangi penganguran dan akan meningkat pertumbuhan ekonomi karena usaha kehutanan kebanyakan bersifat padat karya. Okun’s Law menyatakan bahwa penurunan pengangguran satu persen akan menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi dua persen, sehingga untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen seperti yang ditarget Presiden Prabowo Subianto maka tingkat penggangguran harus diturun sekitar 2 persen. Peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak hanya dari industri dan investasi (supply side), tetapi dimulai dari sisi permintaan (demand side) terlebih dahulu yaitu peningkatan konsumsi nasional. Sedangkan peningkatan konsumsi nasional dipengaruhi penurunan penggangguran sebagai penguatan struktur permintaan domestik.
Kenaikan suhu bumi akibat emisi gas rumah kaca semakin meningkat yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Indonesia memiliki resiko terhadap perubahan iklim dengan tingkat eksposur tinggi untuk semua tipe banjir dan gelombang panas yang ekstrem. Populasi yang akan mengalami resiko banjir ekstrem meningkat sekitar 1,4 juta orang pada 2035 – 2044 (World Bank, 2021). Demikian pula resiko akibat perubahan iklim yang dihadapi Indonesia akan mengalami kenaikan permukaan air laut, gagal panen yang menyebabkan acaman terhadap ketahanan pangan (food security), ketimpangan, kemiskinan dan kesehatan. Panel Perubahan Iklim antar Pemerintah Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Intergovernmental on Climate Change – UN IPCC) memperkirakan deforestasi dan degradasi hutan memberikan kontribusi global sebesar 17% dari seluruh emisi gas rumah kaca, sedangkan di Indonesia emisi karbon 60% berasal dari deforestasi hutan dan lahan gambut.
Dalam perputaran iklim, hutan memiliki peran ganda yaitu sebagai penyerap karbon (carbon sink) dari atmosfir dalam proses fotosintesis yang diperkirakan sebesar 15% dari 32 miliar ton CO2 yang dihasilkan kegiatan manusia selama satu tahun dan sebagai penyimpan karbon (carbon pool). Kerusakan hutan yang disebabkan kebakaran, penebangan yang tidak terkendali dan pengalihan fungsi hutan akan menghilangkan kemampuan sebagai carbon sink dan melenyapkan carbon pool menjadi emisi karbon. Sektor kehutanan memiliki peran terbesar dalam pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca, yaitu sebesar 60% dari semua sektor. Pencapaian target penurunan gas rumah kaca sebesar 43,2% sesuai komitmen Indonesia yang tercantum dalam Updated Nationally Determined Contribution, akan lebih mudah dengan menjaga agar tidak terjadi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Pemicu deforestasi dan degradasi hutan adalah kebakaran hutan, perambahan hutan, konversi hutan untuk kebun dan lainnya, namun apabila diperhatikan lebih mendalam penyebabnya adalah faktor ekonomi dan kemiskinan.
Mengingat pentingnya hutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kembalinya Kementerian Kehutanan dalam pengurusan hutan sangat tepat dan sebagai syarat tercapainya Indonesia Emas tahun 2045.