Uni Eropa (UE) kembali membuat ulah dan hambatan baru bagi produk ekspor Indonesia. Bahkan untuk produk kayu, perjanjian FLEGT VPA pun digusur karena ada aturan baru bernama Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) atau lengkapnya EU Regulation on deforestation-free supply chains, yang mengganti Regulasi Kayu Uni Eropa (EUTR). Akibatnya, sertifikasi legalitas kayu Indonesia melalui SVLK, yang disetarakan dengan lisensi FLEGT, tidak berlaku lagi dan produk kayu Indonesia yang masuk pasar UE harus menjalani due diligence (uji tuntas).
Inilah kabar pahit di awal tahun 2023. UE secara resmi mengganti Regulasi Kayu Uni Eropa (EUTR) yang sudah berjalan hampir 10 tahun dan menyetujui UU baru bernama Peraturan Deforestasi UE (EUDR) untuk mencegah perusahaan memasukkan komoditi yang berasal dari areal deforestasi dan degradasi hutan ke pasar UE. Tidak hanya kayu yang kena, memang. Total ada tujuh komoditi, yakni kedele, minyak sawit, kakao, kopi, karet dan daging sapi. Daftar itu termasuk produk turunannya, seperti kulit sapi, coklat dan furnitur.
Tapi untuk kayu, aturan baru UE ini sangat menyakitkan. Bayangkan, Indonesia sudah berjuang lama mengikuti kemauan pasar, dengan membuat aturan sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (kini berubah menjadi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian). Lewat proses yang panjang, Indonesia-UE akhirnya meneken perjanjian kemitraan sukarela (VPA) tentang penegakkan hukum, tata kelola, dan perdagangan sektor kehutanan (FLEGT). Dari sini, dokumen legalitas kayu Indonesia pun setara dengan lisensi FLEGT, sehingga produk kayu Indonesia masuk “jalur hijau” berdasarkan EUTR.
Jadi, tidak aneh jika Indonesia berang. Duta Besar Indonesia untuk Belgia dan Uni Eropa, Andri Hadi mengaku pemerintah sudah menyampaikan keberatan kepada UE. “Ibarat dalam permainan sepakbola, ketika kita sudah mencetak gol, UE malah bikin gawang baru,” kata dia saat “Sosialisasi Peluang dan Tantangan Ekspor Produk Kehutanan di Eropa” yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri secara hybrid, Senin (30/1/2023).
Buat pemerintah, adanya proses due diligence ke pasar UE menjadi nilai minus buat SVLK. Apalagi, selama ini, masih ada eksportir kayu yang tidak mau mengikuti aturan tersebut, karena prosesnya rumit dan mahal. Persis seperti yang disampaikan Dubes RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, seperti dilansir portal berita lingkungan, Mongabay.com. “Ada beberapa orang yang tidak setuju dengan hal itu, sekarang mereka bisa bilang ‘Lihat itu, pemerintah dicurangi oleh Uni Eropa, mereka memiliki standar baru. Jadi mengapa kita harus setuju dengan SVLK jika ada standar due diligence yang baru?’”.
Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur menguatkan hal itu. Menurutnya, Indonesia harus meyakinkan UE bahwa SVLK adalah sertifikasi yang layak dan baik. Jika tidak mampu mengkampanyekan SVLK, maka dia minta pemerintah memberi kelonggaran dengan menjadikan SVLK bersifat sukarela (voluntary), tidak wajib (mandatory), kepada industri hilir kehutanan.
Apalagi, SVLK dianggap membebani karena produk mebel dan kerajinan yang masuk UE nyatanya harus juga memegang sertifikat Forest Stewardship Council (FSC). “Ibarat ikut lomba lari, jika peserta lain cukup memikul beban satu karung, kita harus memikul dua karung. Ya pasti akan berat untuk bersaing dengan lainnya,” kata Sobur, mengacu eksportir dari negara lain yang cukup mengurus persyaratan FSC saja.