Utusan Khusus Presiden RI, Bapak Hasyim Djoyohadikusumo mengangkat isu hutan dan lahan kritis Indonesia di COP 29, Baku, Azerbaijan. Beliau mengundang partisipasi pihak luar untuk merehabilitasinya. Kabarnya undangan pak Hasyim itu bersambut, salah satunya ialah Jeff Bezos yang menunjukkan ketertarikannya. Percepatan rehabilitasi hutan dan lahan memang sudah lama menuggu terobosan. Selain perubahan pendekatan (ke arah rehabilitasi yang produktif dan membawa manfaat bagi masyarakat), terobosan lain yang amat penting ialah pencarian sumber dana. Karena itu, yang dilakukan pak Hasyim di COP 29 Azerbaijan adalah sebuah kabar positif bagi percepatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis Indonesia yang luas totalnya hampir satu setengah kali luas negara Azerbaijan.
Isu penting dan Komitmen Negara-Negara
Penanganan hutan dan lahan kritis sejatinya sama pentingnya dengan mitigasi perubahan iklim. Seperti mitigasi perubahan iklim yang ada konvensinya (UNFCCC), penanganan lahan kritis dan penggurunan juga ada konvensinya yaitu UNCCD (United Nation Convention on Combatting Desertification). Sama dengan UNFCCC dan UNCBD (United Nation Convention on Biological Diversity), UNCCD juga dilahirkan oleh Earth Convention Rio de Janeiro tahun 1992.
Tetapi entah kenapa UNCCD gaungnya hanya sayup-sayup, termasuk di Indonesia. Mungkin karena nomenklaturnya desertifikasi atau penggurunan, maka banyak yang merasa tidak punya kaitan. Atau mungkin karena tidak sexy, tidak menyentuh emosi masyarakat dunia sebagaimana halnya isu kepunahan satwa liar. Juga mungkin karena kurang menarik dari sisi dolar yang terlibat, karena tidak berurusan dengan industri multibillion dollar yang khawatir kenyamanan atau eksistensinya tergugat.
Maka itu sementara COP UNFCCC selalu menjadi sebuah ajang akbar yang dihadiri puluhan ribu peserta, COP UNCCD tidak ada apa-apanya. Biasanya COP UNCCD di-host negara berkembang dalam bentuk event yang jauh lebih sederhana dan jarang dihadiri petinggi-petinggi negeri atau pebisnis selevel Jeff Bezos.
Di sisi lain, serupa dengan UNCBD dan UNFCCC yang telah mengikat negara-negara anggotanya melalui komitmen-komitmen (UNCBD: Aichi Biodiversity Targets, UNFCCC: Nationally Determined Contribution), anggota-anggota UNCCD termasuk Indonesia juga sudah menyepakati sebuah komitmen, yaitu Land Degradation Neutrality 2030 (LDN 2030). Namun selama ini, meskipun komitmen UNCCD tidak lebih ringan dari UNCBD maupun UNFCCC, dalam implementasi untuk mewujudkannya, yang dilakukan UNCCD dan anggota-anggotanya, termasuk Indonesia, masih jauh dari yang diperlukan.
LDN 2030 diadopsi pada COP UNCCD ke-12 di Ankara, Turki pada tahun 2015. Pada intinya, LDN didefinisikan sebagai: A state whereby the amount and quality of land resources, necessary to support ecosystem functions and services and enhance food security, remains stable or increases within specified temporal and spatial scales and ecosystems (Suatu kondisi dimana luas dan kualitas sumberdaya lahan yang diperlukan untuk mendukung fungsi-fungsi jasa ekosistem dan memperkuat keamanan pangan, terjaga stabil atau meningkat dalam kurun waktu serta tempat dan ekosistem tertentu).
Secara praktis LDN adalah kondisi, dimana luas lahan yang mengalami penurunan produktifitas (terdegradasi) tidak lebih besar dari luas lahan yang mengalamai peningkatan produktifitas (terrehabilitasi). Dengan kata lain, akan tercapai kondisi dimana secara agregat luas areal terdegradasi adalah nol karena seluruhnya “ter-netralkan” oleh luasan yang sama yang terrehabilitasi. Negara-negara anggota UNCCD termasuk Indonesia sudah berkomitmen mewujudkan kondisi itu pada tahun 2030. Keseriusan memenuhi Komitmen LDN 2030 semestinya tidak kalah dari keseriusan memenuhi NDC atau Aichi Targets.
Memang belum tentu kesadaran ini yang mendorong pak Hasyim mengangkat isu rehabilitasi hutan dan lahan di COP-29. Akan tetapi bahwa isu yang cenderung terabaikan itu diangkat, tetaplah sebuah hal yang sangat positif bagi upaya menarik perhatian pembuat kebijakan pada rehabilitasi hutan dan lahan.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis Indonesia
Di Indonesia rehabilitasi hutan dan lahan kritis sudah menjadi agenda rutin tahunan sejak beberapa dekade lampau. Pada Departemen/Kementerian yang portofolionya kehutanan, selalu ada direktorat jendral yang bertugas menyelenggarakan rehabilitasi hutan dan lahan kritis. Sejak jauh sebelumnya ada Direktorat Reboisasi (Ditsi) pada Ditjen Kehutanan, Departemen Pertanian. Cukup banyak sumberdaya yang dikeluarkan untuk tujuan merehabilitasi hutan dan lahan kritis.
Terkait dengan dana yang dikeluarkan, ada satu anekdot popular tentang rehabilitasi hutan dan lahan kritis di seputar Danau Toba, yaitu apabila lembaran uang yang dikeluarkan untuk rehabilitasi ditebar pasti sudah menutupi seluruh permukaan Danau Toba. Anekdot ini menggambarkan besarnya dana yang telah dihabiskan untuk merahabilitasi seputaran Danau Toba, tetapi belum ada hasil yang memuaskan.
Namun meskipun nilai nominal dana yang dikeluarkan cukup besar, tetapi sebenarnya sangat kecil relatif terhadap magnitude dari hutan dan lahan kritis. Pak Hasyim mengutip angka 12,7 juta hektar. Luasan ini tentu mencakup area di dalam dan di luar kawasan hutan, dan merupakan angka terbaru dari kementerian terkait. Sebelumnya angkanya 14 juta hektar. Bahkan sebelum dikoreksi berdasarkan kriteria lahan kritis UNCCD, luasnya dua kali lipat. Tetapi menurut sumber di Kementerian Kehutanan, rencana indikatif rehabilitasi hutan mencakup area sekitar 6,5 juta hektar, mengindikasikan luas kawasan hutan kritis yang memerlukan rehabilitasi. Angka manapun, point-nya ialah luas hutan dan lahan yang harus direhabilitasi sangat massif dan menuntut sumberdaya luar biasa besar.
Dengan luas hutan dan lahan kritis 12,7 juta hektar, jelas mengandalkan dana Pemerintah adalah sesuatu yang nonsense. Anggap saja Pemerintah mampu merehabilitasi 100.000 hektar per tahun, maka diperlukan 120-an tahun untuk menyelesaikan rehabilitasi hutan dan lahan kritis. Itupun dengan asumsi luas hutan dan lahan kritis tidak bertambah dan keberhasilan rehabilitasi tiap tahun sempurna 100%. Padahal asumsi kemampuan merehabilitasi 100.000 hektar per tahun itu super optimistis, jauh di atas kemampuan aktual saat ini.
Sebagai gambaran, menurut sumber di Kementerian Kehutanan, pagu anggaran rehabilitasi hutan tahun 2025 hanya Rp 950 miliar. Dari dana itu yang dialokasikan untuk memulai rehabilitasi hanya cukup untuk 3.500 hektar, selebihnya untuk pemeliharaan tanaman rehabilitasi tahun sebelumnya dan dua-tahun sebelumnya. Diinformasikan juga bahwa dari kegiatan FOLU akan ada tambahan seluas 13.500 hektar. Jadi total kemampuan rehabilitasi tahun 2025 hanya 19.000 hektar, hanya seperlima dari asumsi 100.000 hektar tadi. Jadi Nampak sekali besarnya gap antara yang mampu dilakukan dengan yang harusnya dilakukan.
Di sisi lain, membiarkan berlama-lama 12,7 juta daratan Indonesia (hampir 7% dari seluruh daratan) sebagai lahan tidak produktif sangat tidak bijak. Selain untuk produk-produk kehutanan konvensional, Indonesia juga sangat memerlukan perluasan lahan produktif untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi nasional.
Memang ada pilihan intensifikasi. Akan tetapi secara realistis negeri ini masih jauh dari kemampuan intensifikasi untuk mencapai tingkat produktifitas lahan selevel negeri Belanda yang memproduksi pangan dalam volume besar dari lahan pertaniannya yang relatif terbatas. Kita bahkan masih di belakang Thailand. Dari perspektif ini, rehabilitasi hutan dan lahan kritis harus diposisikan sebagai suatu upaya memulihkan produktifitas hutan dan lahan yang tidak produktif. Ini sesuai juga dengan perspektif UNCCD – LDN 2030. Akan tetapi harus ditekankan bahwa peningkatan produktifitas tidak identik dengan mengubah hutan menjadi non-hutan atau deforestasi.
Masyarakat Sebagai Aktor Utama
Terobosan Utusan Khusus Presiden RI, yaitu mengundang pemilik uang atau investor untuk rehabilitasi hutan dan lahan kritis bisa menjadi jalan keluar kebutuhan dana. Sebenarnya pemikiran itu dulu sudah pernah terbersit, akan tetapi ada kekhawatiran di pihak-pihak tertentu bahwa langkah itu akan mengarah kepada pengalokasian kawasan hutan bagi pemilik modal sehingga akan meningkatkan ketimpangan penguasaan lahan di negeri ini dan rakyat semakin terpinggirkan. Tetapi kekhawatiran itu sebenarnya bisa ditepis dengan membangun skema yang sejak awal memposisikan masyarakat sebagai bagian dari aktor utama yang setara dengan pemilik modal. Dalam hal ini hutan dan lahan kritis diperlakukan sebagai aset atau modal negara yang ditawarkan kepada investor, dan pada hutan dan lahan kritis itu ada melekat masyarakat setempat.
Jadi relasinya bukan donor-recipient, melainkan kolaborasi mutualistis. Indonesia punya hutan dan lahan kritis lengkap dengan masyarakatnya, investor punya uang, dipertemukan dalam kolaborasi yang sama-sama menguntungkan. Dengan demikian, manfaat atau pendapatan yang didapat masyarakat menjadi pertimbangan penting dalam skema yang dibangun.
Salah satu skema ialah yang menempatkan investor sekaligus berfungsi sebagai off-taker produk. Selain menyediakan dana, investor meningkatkan kapasitas masyarakat serta menyediakan teknologi produksi, dan di ujung rantai sebagai penampung produk. Masyarakat dalam kelompok-kelompok menjadi pelaku rehabilitasi. Produk atau komoditas yang akan dihasilkan dirancang dari awal disesuaikan dengan bidang industrinya investor.
Skema seperti ini bukan hal baru. Sebuah produsen kayu lapis di Jawa telah menjalankannya sejak lama. Produsen kayu lapis tersebut memberi modal dan pelatihan kepada kelompok masyarakat untuk menghasilkan kayu sengon yang nanti ditampungnya. Pada skala lebih kecil, di Porsea Sumatra Utara juga ada inisiasi kolaborasi serupa untuk menghasilkan bahan baku serat. Intinya kolaborasi saling menguntungkan antara masyarakat dengan perusahaan sesungguhnya bisa berjalan.
Skema di atas mengasumsikan bahwa dana yang akan datang untuk rehabilitasi hutan dan lahan bentuknya investasi. Apabila dananya berupa bantuan, misalnya saja Jeff Bezos bertindak sebagai philantrophy menghibahkan 100 juta dollar, tentu malah lebih simpel. Tetapi penggunaanya tetap harus untuk rehabilitasi hutan dan lahan yang produktif, bukan sebatas mengembalikan tutupan vegetasi. Selain itu, tetap harus mengedepankan peran dan pendapatan masyarakat. Bisa jadi itu juga salah satu persyaratan dari pemberi hibah.
Perkara manfaat yang didapat masyarakat juga menjadi amat penting karena akan menentukan posisi masyarakat terhadap keberhasilan. Fakta empiris di beberapa tempat menunjukkan bahwa ketika rehabilitasi hutan dipersepsikan sebagai urusan kepentingan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka masyarakat menjadi unsur pendukung utama keberhasilan. Demikian juga sebaliknya.
Satu contoh ialah rehabilitasi hutan yang dilakukan BPDAS Way Seputih – Way Sekampung, Lampung bersama masyarakat di Gunung Balak. Masyarakat sangat mendukung karena dari kegiatan rehabilitasi mereka mendapatkan penerimaan berupa produksi buah apokad yang bernilai tinggi. Contoh lain penananam cendana di Nusa Penida, Bali yang berhasil tanpa dukungan biaya negara/APBN. Masyarakat rela mengeluarkan biaya (termasuk untuk membeli air) untuk memastikan bibit cendana yang diberikan berhasil tumbuh.
Belum berhasilnya rehabilitasi di seputar Danau Toba dapat ditengarai karena kepentingan masyarakat dan manfaat bagi mereka belum menjadi pertimbangan. Sejak tahun 2019, rehabilitasi di seputar Danau Toba dicoba menggunakan jenis yang menjanjikan pendapatan yaitu macadamia, dan nampaknya itu meningkatkan anthusiasme masyarakat. Dewasa ini rehabilitasi tidak lagi boleh dipandang hanya untuk peningkatan atau pengembalian tutupan lahan atau untuk tujuan perbaikan lingkungan, melainkan harus menjadi investasi yang produktif dan menjanjikan kesejahteraan masyarakat..
Semoga terobosan penting untuk rehabilitasi hutan dan lahan kritis Indonesia segera menjadi kenyataan. Sebagian (kalaupun tidak semua) dari 12,7 juta hektar hutan dan lahan kritis kembali produktif mendukung ketersediaan pangan, energi dan papan (produk kehutanan), masyarakat mendapat manfaat nyata, dan Indonesia memenuhi komitmen LDN 2030.